Rabu, 23 September 2009

A Distressing Silent of SBY

Saya tidak tahu bagaimana pandangan dari banyak orang. Tapi kok rasanya Pak SBY cenderung membisu dalam persoalan KPK. Artinya ada momen di mana Pak SBy cukup vokal. Misalnya waktu nama baiknya diserang, yaitu isu dia telah menikah sebelum dengan bu Ani, isu kritik soal kebijakannya oleh capres lain, isu terorisme dan isu lainnya. Tapi dalam masalah KPK kelihatannya begitu sunyi senyap.

Apapun yang menjadi alasan sebenarnya, tetapi tanpa sadar Pak SBY mengirimkan pesan bahwa dalam masalah KPK ini:

1. Polisi tidak melakukan kekeliruan apapun dalam penetapan status dua komisioner KPK

2. Presiden lebih suka mengganti anggota KPK daripada mempercepat proses hukum para komisioner untuk jelas statusnya

3. SBY lebih suka memutuskan sendiri siapa yang menjadi anggota KPK daripada membiarkan proses melalui panitia seleksi dan DPR melakukan pemilihan

4. Presiden tidak memberikan usaha yang berarti untuk menolong KPK mempertahankan kewibawaannya, khususnya terhadap Polri. Beda sekali dengan dulu waktu ada masalah dengan Kehakiman Agung.

5. SBY belum menunjukkan secara proaktif usaha pemberantasan korupsi harus dimuluskan dan diberi ruang gerak yang seluas-luasnya. Semoga ini tidak berarti mempersempit ruang gerak dari pemberantasan korupsi.

SBY yang silent, bagi saya a distressing attitude. Mohon pak SBY melakukan sesuatu untuk mengirimkan pesan yang lebih keras tentang komitmenya dalam pemberantasan korupsi.


Denni B. Saragih

Senin, 18 Mei 2009

"False Negative" dalam UN

"False Negative" dalam UN
Sumber: Kompas Sabtu, 2 Mei 2009 | 04:15  Wib

Dalam sebuah talk- show tentang ujian nasional di radio Elshinta (14/4), ada pertanyaan kepada Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Prof Dr Mungin Eddy Wibowo tentang kemungkinan memeriksa kembali lembar jawaban ujian nasional bila diduga ada kejanggalan pada hasil yang diperoleh.

Tahun lalu anak si penanya itu dinyatakan tidak lulus karena nilai yang dicapai pada salah satu mata pelajaran yang di-UN-kan kurang dari 3,0. Padahal, mata pelajaran lain mendapat nilai di atas 9,0. Penanya itu merasa ada kejanggalan pada hasil ujian mengingat prestasi akademis anaknya sebelumnya termasuk tinggi. Upaya untuk mempertanyakan hasil ujian ke dinas pendidikan tidak membuahkan hasil.

Sayang Ketua BSNP tidak menjawab pertanyaan kemungkinan memeriksa kembali lembar jawaban siswa bila diduga ada kejanggalan. Yang dikemukakan adalah berbagai kemungkinan yang dapat memengaruhi hasil ujian, misalnya anak sakit atau memiliki kemampuan tinggi untuk mata pelajaran yang lulus tetapi lemah pada mata pelajaran yang tidak lulus.

Sebenarnya, pertanyaan itu merupakan hal amat penting dalam UN yang dikategorikan sebagai high stakes testing, yaitu penyelenggaraan ujian yang berdampak besar terhadap masa depan siswa.

”False negative”-”false positive”

Dalam pengambilan keputusan untuk meluluskan atau tidak,

selalu ada peluang terjadinya kesalahan. False negative terjadi bila peserta yang sebenarnya memiliki kemampuan di atas standar kelulusan dinyatakan tidak lulus. Sementara itu, false positive terjadi bila peserta yang memiliki kemampuan di bawah standar kelulusan dinyatakan lulus.

Nilai yang diperoleh dalam pengukuran seperti UN sering disalahpahami sebagai nilai sebenarnya (true score) dari prestasi belajar siswa. Sebenarnya, true score ini tidak akan pernah bisa dipastikan karena pengukuran, terlebih terhadap variabel laten, seperti prestasi belajar, selalu memiliki kesalahan pengukuran yang dikenal sebagai kesalahan baku pengukuran (standard error of measurement). Besarnya kesalahan baku pengukuran ini bergantung pada keandalan alat ukur yang digunakan yang mencerminkan kestabilan dan kekonsistenan dalam pengukuran. Sayang masyarakat tidak memiliki informasi seputar kualitas teknis paket-paket soal UN.

Meski true score ini tidak pernah diketahui nilainya, kita dapat menentukan kisaran true score pada tingkat kepercayaan tertentu. Contohnya, asumsikan kesalahan baku pengukuran pada UN adalah sebesar 0,2 (catatan: saya tidak mendapat informasi tentang besarnya kesalahan baku pengukuran, baik dari website Departemen Pendidikan Nasional maupun BSNP).

Jika seorang siswa mendapat nilai 5,4 untuk suatu mata pelajaran, kita memiliki keyakinan 95 persen bahwa true score siswa itu ada pada kisaran 5,4 sekitar 1,96 (0,2) > 5,4 sekitar 0,392, yaitu antara 5,01 dan 5,79 (1,96 adalah skor baku untuk tingkat kepercayaan 95 persen, sedangkan 0,392 merupakan margin of error).

Beberapa kesempatan

Dengan standar kelulusan 5,5, siswa yang mendapat nilai 5,4 akan dinyatakan tidak lulus untuk mata pelajaran bersangkutan. Meski demikian, perlu diingat, true score siswa itu mungkin lebih tinggi dari 5,5 sehingga terjadilah false negative. Karena itu, untuk mengurangi terjadinya false negative, perlu diberikan beberapa kali kesempatan kepada siswa yang gagal untuk menunjukkan prestasi belajar mereka.

Benar bahwa memberikan beberapa kali kesempatan dapat meningkatkan false positive, yaitu meluluskan siswa yang sebenarnya memiliki true score di ba- wah standar kelulusan. Namun, saya memandang false negative lebih berbahaya karena siswa yang seharusnya lulus kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau mencari pekerjaan bagi lulusan SMA/SMK, belum lagi menimbang aneka tekanan psikologis yang dialami siswa maupun biaya yang harus dikeluarkan.

Pelaksanaan UN yang hanya satu kali, itu pun dilakukan pada tahun terakhir masa belajar, sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap standar pelaksanaan high stakes testing. Negara-negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan ujian kelulusan bagi siswa SMA dan sederajat memberikan beberapa kali kesempatan kepada siswa yang gagal karena ujian tidak dilaksanakan pada tahun terakhir masa studi.

Mekanisme ”appeal”

Selain kesalahan pengambilan keputusan yang disebabkan kesalahan baku pengukuran, tidak tertutup kemungkinan adanya kontribusi sumber-sumber kesalahan lain yang bukan berasal dari pengukuran itu sendiri, misalnya dalam pemindaian LJUN atau dalam tahapan lainnya.

Upaya standardisasi yang dilakukan pemerintah akan tercederai bila kemungkinan terjadinya kesalahan tidak diantisipasi dan ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan appeal (peninjauan kembali) bila diduga ada kejanggalan- kejanggalan agar tidak semakin banyak siswa yang menjadi korban false negative. False negative ini dapat diasosiasikan dengan menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah. Mekanisme ini harus sama di seluruh Tanah Air dan diinformasikan secara jelas kepada masyarakat.

Sementara asumsi bahwa pelaksanaan UN dapat meningkatkan prestasi siswa masih perlu diuji, aspek-aspek teknis pelaksanaan UN perlu terus dievaluasi agar tidak ada siswa yang dirugikan. Akuntabilitas pelaksanaan UN, hal yang ditekankan berulang-ulang oleh Ketua BSNP saat talkshow, menjadi kunci.

Elin Driana Salah Seorang Koordinator Education Forum

Cukup Sudah UN by Abduhzen (Ketua Ed Forum)

Dalam praktiknya, UN telah memosisikan para guru dan kepala sekolah pada ruang
dilematis. Pada satu sisi, sebagai jajaran paling ujung dari rantai panjang
birokrasi pendidikan, mereka sering dipaksa mencapai target kelulusan tertentu
dengan standar yang ditetapkan. Di sisi lain, mereka menghadapi kenyataan
tingkat kemampuan murid-muridnya yang masih rendah. Situasi ini kemudian
menggiring mereka melakukan tindakan "penyelamatan" yang kadang kala melawan
akal sehat dan menentang hati nurani.

Ada dua berita menarik menyertai penyelenggaraan UN tahun ini. Pertama,
penangkapan enam kepala SMA dan seorang Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas
Pendidikan Bengkulu Selatan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka karena
tertangkap tangan ketika bersama menjawab soal cadangan UN untuk disebarkan ke
peserta UN, murid-murid mereka. Kedua, ancaman Wali Kota Bekasi untuk
memberhentikan kepala sekolah jika di sekolahnya ada murid yang tak lulus UN.

Selama enam tahun penyelenggaraan UN, rasanya tak pernah sepi dari peristiwa
kebocoran atau upaya-upaya membocorkan soal. Ironisnya, praktik curang tersebut
kebanyakan melibatkan oknum guru. Mengapa guru kita merelakan dirinya melakukan
praktik tak terpuji itu? Sudah begitu burukkah mentalitas dan moralitas para
guru kita?

UN direspons oleh berbagai kalangan terkait tidaklah secara positif sebagai
tantangan, melainkan dirasakan sebagai ancaman yang menakutkan. Pemerintah
daerah dan Dinas Pendidikannya, kepala sekolah dan guru, orang tua dan anaknya
(para murid) dihantui kegagalan dan kesia-siaan atas jerih payah mereka selama
bertahun-tahun. Kekhawatiran timbul karena UN mengandalkan hanya pada single
score dan tidak menyediakan ujian ulangan sehingga peluang kegagalan ternganga
bagi siapa saja, bahkan bagi para murid paling pandai pun. Ketegangan dan rasa
takut menjadi sempurna ketika belakangan Depdiknas mendramatisasi kegiatan
akademik ini dengan melibatkan aparat keamanan secara vulgar.

Sementara itu, jajaran birokrasi penanggung jawab pendidikan menginginkan UN
selalu tampak sukses di mata atasan dan masyarakatnya. Para guru beserta kepala
sekolah suka atau tidak suka diposisikan menjadi ujung tombak operasi kesuksesan
tersebut. Padahal, sebagai orang yang setiap hari bergelut dengan realitas,
mereka sangat tahu kesiapan sekolah dan kemampuan para muridnya. Pada posisi
dilematis seperti inilah sebagian besar guru dan kepala sekolah terpaksa
melalukan "penyelamatan" melalui beragam modus operandi yang dinilai berbagai
kalangan sebagai tak terpuji. Disebut "penyelamatan" karena sejatinya kegiatan
tersebut semata untuk membantu murid-muridnya, menyelamatkan sekolah, dan
menyelamatkan karier. Dan itu merupakan "keniscayaan manusiawi" akibat kebijakan
nasional yang keliru.

Sangatlah tidak bijaksana ketika menyalahkan para guru dan kepala sekolah. Kita
juga mengutuki faktor penyebab kecurangan mereka. Kita perlu mengingat kembali
bahwa pemerintah, Mendiknas, dan jajarannya sudah dua kali diputus bersalah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena
kebijakan UN melanggar hak asasi manusia warga negaranya. Ini hendaknya kita
refleksikan bersama bahwa secara hukum pemerintah telah melakukan dua kesalahan,
membuat kebijakan yang melanggar, dan kebijakan itu menyebabkan orang (guru dan
kepala sekolah) melanggar hukum. Oleh karena itu, ketika akan menjatuhkan
hukuman terhadap guru yang dianggap melanggar dalam kasus UN, perlu pula
dipertimbangkan sanksi terhadap pihak yang menjadi penyebabnya serta kebijakan
UN itu sendiri.

UN bukanlah persoalan hukum semata. Ia adalah bagian dari proses pendidikan yang
oleh para pakar sejak awal dianggap melanggar prinsip-prinsip pedagogis dan
mendangkalkan makna pendidikan. Kini, setelah enam tahun diselenggarakan, budaya
belajar keras dan kualitas pembelajaran belum menunjukkan tanda-tanda akan
meningkat. Demikian pula pemetaan mutu yang juga sering dijadikan alasan UN,
tidak jelas apakah ada dan menjadi dasar kebijakan untuk perbaikan. Yang semakin
nyata justru adalah dampak buruknya.

Jika UN terus dilangsungkan seperti sekarang, ada dua dampak buruk yang akan
muncul dalam dunia persekolahan kita, yaitu meningkatnya budaya malas belajar
dan tertanamnya mentalitas korup.

Menumbuhkan tradisi belajar pada murid merupakan inti dan hakikat pendidikan.
Dengan memfokuskan segenap aktivitas pembelajaran untuk menghadapi ujian,
kegiatan UN telah memberangus kesempatan tumbuhnya rasa cinta belajar dan
mekarnya fungsi nalar. Semangat belajar itu semakin melemah ketika para murid
menyaksikan dan terlibat konspirasi yang mengajarkan bahwa banyak "jalan tikus"
menuju lulus.

Konspirasi guru dan murid di sekolah adalah "praktikum diam" yang menanamkan
karakter buruk kepada anak-anak. Pandangan luhur terhadap martabat guru dan
lembaga persekolahan secara nyata dinegasikan sembari mengafirmasi nilai-nilai
korup yang merebak di tengah masyarakat. Praktik UN telah menjadi seperti hidden
curriculum pendidikan mental korup (corrupted mind).

Oleh karena itu, dengan UN lembaga persekolahan selain tidak mencerdaskan, juga
mengakselerasi kehancuran mentalitas bangsa ini. Cukup sudah UN!