Selasa, 17 Agustus 2010

Mendesak, Revisi UU Sisdiknas

Kompas, 16 Agustus
Darmaningtyas

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang proses penyusunannya menimbulkan kegaduhan antara pro dan kontra, ternyata implementasinya melahirkan sejumlah masalah krusial.

Oleh karena itu, menjadi amat mendesak bagi UU ini untuk direvisi oleh anggota DPR periode 2009-2014. Beberapa persoalan krusial yang sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar untuk merevisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) antara lain sebagai berikut.

Pertama, pembatalan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. UU BHP adalah amanat dari UU Sisdiknas Pasal 53 agar penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan dibatalkannya UU BHP, Pasal 53 ini tidak bermakna lagi; jika tidak direvisi, hanya menjadi pasal sampah belaka.

Kedua, masalah krusial yang selalu muncul setiap tahun dan menghabiskan energi adalah ujian nasional (UN). UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam UU Sisdiknas karena Pasal 57-59 hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya tidak tentu berupa UN.

Namun, oleh pemerintah diturunkan terlalu jauh dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengamanatkan UN dari SD hingga SMTA. PP No 19/2005 itulah yang dijadikan pedoman oleh pemerintah untuk melaksanakan UN. Tetapi, apabila dirunut pasalnya dalam UU Sisdiknas, memang tidak ada.

Pasal 57-59 yang mengatur masalah evaluasi pendidikan saatnya direvisi agar lebih tegas dan tidak multitafsir. Sebetulnya bunyi pasal itu sudah tegas, tetapi entah bagaimana pemerintah dapat menafsirkan beda dengan tafsiran masyarakat.

Dalam ketiga pasal tersebut tidak ada yang mengindikasikan pelaksanaan UN. Bahkan, kalau membaca Pasal 59 Ayat 3 jelas sekali bahwa ”Masyarakat dan/ atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi hasil belajar”. Itu artinya evaluasi belajar itu seperti model tes TOEFL yang dapat diselenggarakan oleh badan-badan mandiri yang kredibel, bukan justru dalam bentuk UN seperti yang dipaksakan oleh pemerintah.

Ketiga, masalah anggaran pendidikan yang problematik. UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat 1 menyebutkan, ”Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.

Namun, dalam realitasnya, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2008, anggaran 20 persen termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan. Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bunyi Ayat 1 Pasal 49 tidak ada maknanya lagi.

Keempat, menghapus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). RSBI dan SBI telah menimbulkan persoalan sosial baru karena telah menutup akses masyarakat secara umum terhadap layanan pendidikan yang bermutu serta telah menciptakan kastanisasi sekolah menjadi beberapa kasta.

Ini tentu menimbulkan persoalan tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kementerian Pendidikan Nasional sekarang juga tengah mengevaluasi keberadaan RSBI/SBI, tetapi tampaknya hanya dari aspek teknis belaka. Padahal, persoalan RSBI/SBI lebih bersifat ideologis-konstitusional. Keberadaan RSBI/SBI merupakan turunan dari UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3 yang mengamanatkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimum satu satuan pendidikan bertaraf internasional.

Mengingat implementasi pasal itu dalam bentuk RSBI/SBI, menimbulkan persoalan serius (konstitusional), pasal tersebut perlu dihilangkan.

Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, sementara pengembangan RSBI/SBI sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional, bahkan menciptakan kastanisasi sekolah. UU Sisdiknas tidak boleh menabrak konstitusi.

Implementasi dari Ayat 3 Pasal 50 dalam bentuk RSBI/SBI juga bertentangan dengan Ayat 1 Pasal 5 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu serta Ayat 1 Pasal 11 tentang layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Sementara itu, yang bisa bersekolah di RSBI/SBI hanya golongan mampu karena biayanya mahal.

Kelima, usia masuk sekolah dasar (SD). Persoalan usia masuk SD selalu menjadi ramai setiap tahun ajaran baru karena banyak anak di bawah usia enam tahun ingin masuk SD. Di sisi lain, para guru secara formal selalu terpaku pada UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34 Ayat 1).

Artinya, batas minimum masuk SD adalah enam tahun. Jika kurang dari enam tahun, meskipun anak sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung, tetap tidak bisa diterima. Di lapangan, usia masuk SD ini menjadi praktik jual beli kursi—terlebih di SD negeri favorit—tarifnya mencapai jutaan rupiah.

Batas minimum usia masuk SD enam tahun itu memang perlu dikaji lagi. Pada masa lalu (sebelum dekade 1980-an), ketika gizi keluarga belum baik, pendidikan orangtua masih rendah, kesadaran bersekolah rendah, baru ada TVRI, media massa dan sarana komunikasi masih terbatas, tentu saja perkembangan fisik dan mental anak pun lambat.

Namun, pascadekade 1980-an (apalagi sekarang), ketika gizi keluarga bagus, orangtua terdidik dan sadar akan pendidikan, sarana komunikasi dan fasilitas pendidikan lengkap, serta banyak media cetak maupun elektronik, perkembangan fisik dan mental anak pun mengalami percepatan.

Anak berusia lima tahun tanpa paksaan sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung; mental mereka juga sudah matang. Perkembangan fisik dan mental anak seperti itu perlu diakomodasi dalam perundang-undangan pendidikan nasional sehingga tidak dijadikan sebagai obyek jual beli usia.

Keenam, masuknya pendidikan asing. Hal itu diatur dalam Pasal 65 Ayat 1-3, baik untuk pendidikan dasar maupun perguruan tinggi. Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu diatur dalam Pasal 65 Ayat 1-3. Pasal ini dinilai terlalu liberal karena Amerika Serikat saja yang dikenal liberal sangat melindungi pendidikan bangsanya, sebaliknya kita justru mengundang asing untuk turut mendidik bangsa kita. Keberadaan Pasal 65 ini sebetulnya tidak perlu.

Persoalan lain yang cukup krusial dan perlu dirumuskan kembali pasalnya adalah masalah pendanaan pendidikan mengingat pasal satu dan lainnya saling bertentangan. Pasal 43 Ayat 2-3 mengatur masalah komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, tetapi Pasal 46 Ayat 1 jelas sekali memberikan beban tanggung jawab kepada masyarakat untuk menanggung pendanaan pendidikan.

Masih banyak lagi pasal yang perlu direvisi agar tidak menimbulkan keruwetan di lapangan. Semoga para anggota Komisi X DPR periode 2009-2014 punya semangat untuk melakukan reformasi perundang-undangan pendidikan nasional.

Rabu, 23 September 2009

A Distressing Silent of SBY

Saya tidak tahu bagaimana pandangan dari banyak orang. Tapi kok rasanya Pak SBY cenderung membisu dalam persoalan KPK. Artinya ada momen di mana Pak SBy cukup vokal. Misalnya waktu nama baiknya diserang, yaitu isu dia telah menikah sebelum dengan bu Ani, isu kritik soal kebijakannya oleh capres lain, isu terorisme dan isu lainnya. Tapi dalam masalah KPK kelihatannya begitu sunyi senyap.

Apapun yang menjadi alasan sebenarnya, tetapi tanpa sadar Pak SBY mengirimkan pesan bahwa dalam masalah KPK ini:

1. Polisi tidak melakukan kekeliruan apapun dalam penetapan status dua komisioner KPK

2. Presiden lebih suka mengganti anggota KPK daripada mempercepat proses hukum para komisioner untuk jelas statusnya

3. SBY lebih suka memutuskan sendiri siapa yang menjadi anggota KPK daripada membiarkan proses melalui panitia seleksi dan DPR melakukan pemilihan

4. Presiden tidak memberikan usaha yang berarti untuk menolong KPK mempertahankan kewibawaannya, khususnya terhadap Polri. Beda sekali dengan dulu waktu ada masalah dengan Kehakiman Agung.

5. SBY belum menunjukkan secara proaktif usaha pemberantasan korupsi harus dimuluskan dan diberi ruang gerak yang seluas-luasnya. Semoga ini tidak berarti mempersempit ruang gerak dari pemberantasan korupsi.

SBY yang silent, bagi saya a distressing attitude. Mohon pak SBY melakukan sesuatu untuk mengirimkan pesan yang lebih keras tentang komitmenya dalam pemberantasan korupsi.


Denni B. Saragih

Senin, 18 Mei 2009

"False Negative" dalam UN

"False Negative" dalam UN
Sumber: Kompas Sabtu, 2 Mei 2009 | 04:15  Wib

Dalam sebuah talk- show tentang ujian nasional di radio Elshinta (14/4), ada pertanyaan kepada Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Prof Dr Mungin Eddy Wibowo tentang kemungkinan memeriksa kembali lembar jawaban ujian nasional bila diduga ada kejanggalan pada hasil yang diperoleh.

Tahun lalu anak si penanya itu dinyatakan tidak lulus karena nilai yang dicapai pada salah satu mata pelajaran yang di-UN-kan kurang dari 3,0. Padahal, mata pelajaran lain mendapat nilai di atas 9,0. Penanya itu merasa ada kejanggalan pada hasil ujian mengingat prestasi akademis anaknya sebelumnya termasuk tinggi. Upaya untuk mempertanyakan hasil ujian ke dinas pendidikan tidak membuahkan hasil.

Sayang Ketua BSNP tidak menjawab pertanyaan kemungkinan memeriksa kembali lembar jawaban siswa bila diduga ada kejanggalan. Yang dikemukakan adalah berbagai kemungkinan yang dapat memengaruhi hasil ujian, misalnya anak sakit atau memiliki kemampuan tinggi untuk mata pelajaran yang lulus tetapi lemah pada mata pelajaran yang tidak lulus.

Sebenarnya, pertanyaan itu merupakan hal amat penting dalam UN yang dikategorikan sebagai high stakes testing, yaitu penyelenggaraan ujian yang berdampak besar terhadap masa depan siswa.

”False negative”-”false positive”

Dalam pengambilan keputusan untuk meluluskan atau tidak,

selalu ada peluang terjadinya kesalahan. False negative terjadi bila peserta yang sebenarnya memiliki kemampuan di atas standar kelulusan dinyatakan tidak lulus. Sementara itu, false positive terjadi bila peserta yang memiliki kemampuan di bawah standar kelulusan dinyatakan lulus.

Nilai yang diperoleh dalam pengukuran seperti UN sering disalahpahami sebagai nilai sebenarnya (true score) dari prestasi belajar siswa. Sebenarnya, true score ini tidak akan pernah bisa dipastikan karena pengukuran, terlebih terhadap variabel laten, seperti prestasi belajar, selalu memiliki kesalahan pengukuran yang dikenal sebagai kesalahan baku pengukuran (standard error of measurement). Besarnya kesalahan baku pengukuran ini bergantung pada keandalan alat ukur yang digunakan yang mencerminkan kestabilan dan kekonsistenan dalam pengukuran. Sayang masyarakat tidak memiliki informasi seputar kualitas teknis paket-paket soal UN.

Meski true score ini tidak pernah diketahui nilainya, kita dapat menentukan kisaran true score pada tingkat kepercayaan tertentu. Contohnya, asumsikan kesalahan baku pengukuran pada UN adalah sebesar 0,2 (catatan: saya tidak mendapat informasi tentang besarnya kesalahan baku pengukuran, baik dari website Departemen Pendidikan Nasional maupun BSNP).

Jika seorang siswa mendapat nilai 5,4 untuk suatu mata pelajaran, kita memiliki keyakinan 95 persen bahwa true score siswa itu ada pada kisaran 5,4 sekitar 1,96 (0,2) > 5,4 sekitar 0,392, yaitu antara 5,01 dan 5,79 (1,96 adalah skor baku untuk tingkat kepercayaan 95 persen, sedangkan 0,392 merupakan margin of error).

Beberapa kesempatan

Dengan standar kelulusan 5,5, siswa yang mendapat nilai 5,4 akan dinyatakan tidak lulus untuk mata pelajaran bersangkutan. Meski demikian, perlu diingat, true score siswa itu mungkin lebih tinggi dari 5,5 sehingga terjadilah false negative. Karena itu, untuk mengurangi terjadinya false negative, perlu diberikan beberapa kali kesempatan kepada siswa yang gagal untuk menunjukkan prestasi belajar mereka.

Benar bahwa memberikan beberapa kali kesempatan dapat meningkatkan false positive, yaitu meluluskan siswa yang sebenarnya memiliki true score di ba- wah standar kelulusan. Namun, saya memandang false negative lebih berbahaya karena siswa yang seharusnya lulus kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau mencari pekerjaan bagi lulusan SMA/SMK, belum lagi menimbang aneka tekanan psikologis yang dialami siswa maupun biaya yang harus dikeluarkan.

Pelaksanaan UN yang hanya satu kali, itu pun dilakukan pada tahun terakhir masa belajar, sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap standar pelaksanaan high stakes testing. Negara-negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan ujian kelulusan bagi siswa SMA dan sederajat memberikan beberapa kali kesempatan kepada siswa yang gagal karena ujian tidak dilaksanakan pada tahun terakhir masa studi.

Mekanisme ”appeal”

Selain kesalahan pengambilan keputusan yang disebabkan kesalahan baku pengukuran, tidak tertutup kemungkinan adanya kontribusi sumber-sumber kesalahan lain yang bukan berasal dari pengukuran itu sendiri, misalnya dalam pemindaian LJUN atau dalam tahapan lainnya.

Upaya standardisasi yang dilakukan pemerintah akan tercederai bila kemungkinan terjadinya kesalahan tidak diantisipasi dan ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan appeal (peninjauan kembali) bila diduga ada kejanggalan- kejanggalan agar tidak semakin banyak siswa yang menjadi korban false negative. False negative ini dapat diasosiasikan dengan menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah. Mekanisme ini harus sama di seluruh Tanah Air dan diinformasikan secara jelas kepada masyarakat.

Sementara asumsi bahwa pelaksanaan UN dapat meningkatkan prestasi siswa masih perlu diuji, aspek-aspek teknis pelaksanaan UN perlu terus dievaluasi agar tidak ada siswa yang dirugikan. Akuntabilitas pelaksanaan UN, hal yang ditekankan berulang-ulang oleh Ketua BSNP saat talkshow, menjadi kunci.

Elin Driana Salah Seorang Koordinator Education Forum

Cukup Sudah UN by Abduhzen (Ketua Ed Forum)

Dalam praktiknya, UN telah memosisikan para guru dan kepala sekolah pada ruang
dilematis. Pada satu sisi, sebagai jajaran paling ujung dari rantai panjang
birokrasi pendidikan, mereka sering dipaksa mencapai target kelulusan tertentu
dengan standar yang ditetapkan. Di sisi lain, mereka menghadapi kenyataan
tingkat kemampuan murid-muridnya yang masih rendah. Situasi ini kemudian
menggiring mereka melakukan tindakan "penyelamatan" yang kadang kala melawan
akal sehat dan menentang hati nurani.

Ada dua berita menarik menyertai penyelenggaraan UN tahun ini. Pertama,
penangkapan enam kepala SMA dan seorang Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas
Pendidikan Bengkulu Selatan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka karena
tertangkap tangan ketika bersama menjawab soal cadangan UN untuk disebarkan ke
peserta UN, murid-murid mereka. Kedua, ancaman Wali Kota Bekasi untuk
memberhentikan kepala sekolah jika di sekolahnya ada murid yang tak lulus UN.

Selama enam tahun penyelenggaraan UN, rasanya tak pernah sepi dari peristiwa
kebocoran atau upaya-upaya membocorkan soal. Ironisnya, praktik curang tersebut
kebanyakan melibatkan oknum guru. Mengapa guru kita merelakan dirinya melakukan
praktik tak terpuji itu? Sudah begitu burukkah mentalitas dan moralitas para
guru kita?

UN direspons oleh berbagai kalangan terkait tidaklah secara positif sebagai
tantangan, melainkan dirasakan sebagai ancaman yang menakutkan. Pemerintah
daerah dan Dinas Pendidikannya, kepala sekolah dan guru, orang tua dan anaknya
(para murid) dihantui kegagalan dan kesia-siaan atas jerih payah mereka selama
bertahun-tahun. Kekhawatiran timbul karena UN mengandalkan hanya pada single
score dan tidak menyediakan ujian ulangan sehingga peluang kegagalan ternganga
bagi siapa saja, bahkan bagi para murid paling pandai pun. Ketegangan dan rasa
takut menjadi sempurna ketika belakangan Depdiknas mendramatisasi kegiatan
akademik ini dengan melibatkan aparat keamanan secara vulgar.

Sementara itu, jajaran birokrasi penanggung jawab pendidikan menginginkan UN
selalu tampak sukses di mata atasan dan masyarakatnya. Para guru beserta kepala
sekolah suka atau tidak suka diposisikan menjadi ujung tombak operasi kesuksesan
tersebut. Padahal, sebagai orang yang setiap hari bergelut dengan realitas,
mereka sangat tahu kesiapan sekolah dan kemampuan para muridnya. Pada posisi
dilematis seperti inilah sebagian besar guru dan kepala sekolah terpaksa
melalukan "penyelamatan" melalui beragam modus operandi yang dinilai berbagai
kalangan sebagai tak terpuji. Disebut "penyelamatan" karena sejatinya kegiatan
tersebut semata untuk membantu murid-muridnya, menyelamatkan sekolah, dan
menyelamatkan karier. Dan itu merupakan "keniscayaan manusiawi" akibat kebijakan
nasional yang keliru.

Sangatlah tidak bijaksana ketika menyalahkan para guru dan kepala sekolah. Kita
juga mengutuki faktor penyebab kecurangan mereka. Kita perlu mengingat kembali
bahwa pemerintah, Mendiknas, dan jajarannya sudah dua kali diputus bersalah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena
kebijakan UN melanggar hak asasi manusia warga negaranya. Ini hendaknya kita
refleksikan bersama bahwa secara hukum pemerintah telah melakukan dua kesalahan,
membuat kebijakan yang melanggar, dan kebijakan itu menyebabkan orang (guru dan
kepala sekolah) melanggar hukum. Oleh karena itu, ketika akan menjatuhkan
hukuman terhadap guru yang dianggap melanggar dalam kasus UN, perlu pula
dipertimbangkan sanksi terhadap pihak yang menjadi penyebabnya serta kebijakan
UN itu sendiri.

UN bukanlah persoalan hukum semata. Ia adalah bagian dari proses pendidikan yang
oleh para pakar sejak awal dianggap melanggar prinsip-prinsip pedagogis dan
mendangkalkan makna pendidikan. Kini, setelah enam tahun diselenggarakan, budaya
belajar keras dan kualitas pembelajaran belum menunjukkan tanda-tanda akan
meningkat. Demikian pula pemetaan mutu yang juga sering dijadikan alasan UN,
tidak jelas apakah ada dan menjadi dasar kebijakan untuk perbaikan. Yang semakin
nyata justru adalah dampak buruknya.

Jika UN terus dilangsungkan seperti sekarang, ada dua dampak buruk yang akan
muncul dalam dunia persekolahan kita, yaitu meningkatnya budaya malas belajar
dan tertanamnya mentalitas korup.

Menumbuhkan tradisi belajar pada murid merupakan inti dan hakikat pendidikan.
Dengan memfokuskan segenap aktivitas pembelajaran untuk menghadapi ujian,
kegiatan UN telah memberangus kesempatan tumbuhnya rasa cinta belajar dan
mekarnya fungsi nalar. Semangat belajar itu semakin melemah ketika para murid
menyaksikan dan terlibat konspirasi yang mengajarkan bahwa banyak "jalan tikus"
menuju lulus.

Konspirasi guru dan murid di sekolah adalah "praktikum diam" yang menanamkan
karakter buruk kepada anak-anak. Pandangan luhur terhadap martabat guru dan
lembaga persekolahan secara nyata dinegasikan sembari mengafirmasi nilai-nilai
korup yang merebak di tengah masyarakat. Praktik UN telah menjadi seperti hidden
curriculum pendidikan mental korup (corrupted mind).

Oleh karena itu, dengan UN lembaga persekolahan selain tidak mencerdaskan, juga
mengakselerasi kehancuran mentalitas bangsa ini. Cukup sudah UN!

Sabtu, 29 Maret 2008

Pemberantasan Korupsi

Menggempur Korupsi dari Pelbagai Sisi
Oleh Victor Silaen

Batin kita mungkin sudah teramat lelah mengamati sepak-terjang para
koruptor dan dahsyatnya praktik korupsi yang menyebabkan Indonesia hingga kini
masih dikategorikan sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Padahal,
upaya-upaya memerangi korupsi selama ini telah gencar dilakukan oleh
institusi-institusi penegak hukum negara, yang didukung pula oleh pelbagai
lembaga keumatan dan organisasi non-pemerintah yang peduli terhadap ”penyakit
akut” yang terus-menerus menggerogoti sendi-sendi negara ini. Pertanyaannya,
adakah alternatif lain yang harus kita lakukan? Harus disadari bahwa korupsi
tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga
upaya-upaya memeranginya harus luar biasa pula.
Terkait itu Prof Dr. JE Sahetapy, pakar hukum pidana dari Universitas
Airlangga, Surabaya, mengusulkan perlunya dibuat ketentuan hukum tentang
”pembuktian terbalik” dalam rangka memerangi korupsi (Suara Pembaruan,
17-3-2007). Bukan gagasan yang baru sebenarnya, tapi kita patut mendukungnya
agar gemanya terdengar lebih luas lagi. Sehingga, mudah-mudahan dalam waktu yang
tidak terlalu lama, gagasan ini berkembang menjadi isu politik hingga akhirnya
diagendakan untuk dibahas di DPR. Kalaupun belum berbentuk undang-undang,
menurut Sahetapy, setidaknya Mahkamah Agung dapat segera melakukan asas
pembuktian terbalik ini. ”MA memberlakukan asas ini, tentu melalui
yurisprudensi,” kata dia.
Memang, korupsi yang sudah menjadi wabah akut di negara kleptokrasi --
negara yang dalam praktik penyelenggaraan pemerintahannya ditandai oleh
keserakahan, ketamakan, dan korupsi yang merajalela (Amich Alhumami, 2005) – ini
harus digempur dari pelbagai sisi. Artinya, agar lebih efektif, kita tak bisa
hanya menggantungkan harapan pada lembaga-lembaga penegak hukum yang selama ini
sudah berperan. Untuk itulah perangkat hukum pun harus dilengkapi. ”Saya pikir
dengan kondisi Indonesia yang sudah hancur karena korupsi, maka asas ini sangat
relevan diberlakukan,” kata Sahetapy.
Ia benar. Sebab, bukankah kita kerap terheran-heran menyaksikan begitu
banyaknya aparat pemerintah maupun pejabat negara yang memiliki kekayaan tak
ubahnya pengusaha papan atas? Berapakah gaji mereka per bulan, sehingga harta
mereka begitu berlimpah? Menurut Sahetapy, jika kelak asas pembuktian terbalik
ini diberlakukan, maka orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi
diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Untuk itu tentu
harus dengan bukti hukum yang kuat. ”Saya bersama anggota Komisi Hukum Nasional
sudah bertemu Presiden agar asas pembuktian terbalik ini segera dimasukkan ke
dalam KUHAP,” ujarnya.
Kalau begitu, sekarang kita tinggal menunggu good will dan political will
dari Presiden Yudhoyono. Kita boleh optimistik dalam hal ini, sebab bukankah
sejak awal Yudhoyono telah bertekad kuat untuk memerangi korupsi? Bukankah ia
pernah berjanji di masa kampanyenya sebagai calon presiden dulu, untuk bekerja
siang-malam dan memimpin langsung di garda depan dalam rangka memberantas
korupsi?
Sebagai kepala negara, tak ada salahnya Yudhoyono mengacu pada
pengalaman memerangi korupsi di negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, dan Hongkong (Cina), yang telah melaksanakan undang-undang khusus
yang mengatur asas pembuktian terbalik itu. Di ketiga negara ini, umumnya orang
takut melakukan korupsi karena sulit sekali menghindarkan diri dari penyidikan
jika benar-benar melakukan korupsi seperti menerima atau memberi suap. Karena si
tersangkalah – bukan pihak kejaksaan -- yang harus membuktikan bahwa dirinya
tidak melakukan tindakan korupsi sebagaimana yang disangkakan kepadanya.
Selain itu, ada beberapa alternatif lainnya. Pertama, mengampanyekan
pernyataan-pernyataan bersubstansi antikorupsi seluas-luasnya (sebagaimana hal
itu telah kita lakukan dalam rangka memerangi narkoba), misalnya dengan memasang
plakat-plakat, spanduk-spanduk, stiker-stiker, dan yang sejenisnya, di
ruang-ruang publik di pelbagai pelosok negeri ini, termasuk di kantor-kantor
pemerintah, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Kedua, menciptakan efek gentar (detterent effect) di masyarakat dengan
cara menayangkan wajah para tersangka koruptor di sejumlah stasiun televisi
pemerintah maupun swasta secara berulang-ulang. Dengan cara itu dimungkinkan
tercapainya dua tujuan: 1) masyarakat dapat berpartisipasi memberikan
informasi-informasi yang terkait dengan para tersangka koruptor itu; 2)
orang-orang yang berniat korupsi niscaya berpikir seribu kali sebelum melakukan
kejahatan itu.
Ketiga, mengimbau masyarakat untuk tidak menaruh respek kepada para
koruptor. Itulah resep yang disampaikan Pascal Couchepin, Konsuler Federal
sekaligus Menteri Dalam Negeri Swiss (Kompas, 29-10-2005). Di negara yang
dikategorikan Transparency International sebagai “bersih dari korupsi” itu,
begitu ada yang korup langsung dimusuhi. Kalau dia pegawai negeri, maka akan
dibenci seluruh rakyat. Untuk menjadikan sebuah negara bersih dari korupsi,
menurut Couchepin, membutuhkan waktu. ”Akan tetapi, suatu hal yang utama adalah
jangan pernah berkompromi menghadapi korupsi dan jadikan korupsi sebagai musuh
bersama,” ujarnya. ”Di Rusia tindakan korupsi kini banyak berkurang, karena para
koruptor langsung dikirim ke Siberia,” katanya lagi.
Senada dengan itu, Mallam Nuhu Ribadu, Ketua Eksekutif Economic and
Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria berkata: “Kita punya masalah sama:
kita cenderung memberi hormat kepada orang-orang yang justru tidak layak
dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya
kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri
karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi
bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap
para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect” (Tempo, 16-9-2007).
Pesan Couchepin dan Ribadu sangatlah jelas. Namun, mudahkah menerapkannya
di Indonesia, itu yang belum jelas. Sebab, bukankah umumnya kita cenderung
menghormati mereka yang kaya-raya, tak hirau kekayaan itu diperoleh dengan
cara-cara yang melawan hukum? Perlu disadari bahwa penghormatan kepada mereka
yang kaya-raya, khususnya yang menjadi hartawan karena korupsi, sebenarnya
semakin mengukuhkan pandangan bahwa korupsi adalah tindakan yang biasa di zaman
edan ini. Atas dasar itulah maka kita pun perlu belajar untuk tidak silau
memandang kekayaan.
Akhirnya, seraya terus berjuang menggempur korupsi dari pelbagai sisi,
ingatlah kalimat bijak Oscar Arias Sanchez, Presiden Costa Rica 1986-1990,
pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1987 dan salah seorang anggota pendiri dan
anggota dewan penasihat Transparency International: “Kita sekali-kali jangan
putus-asa dalam upaya menghambat kanker korupsi. Memang, korupsi telah mendunia,
tetapi gelombang pasang tuntutan masyarakat agar diwujudkannya pemerintahan yang
bersih juga telah mendunia.”

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.

Jumat, 01 Februari 2008

MPS Tolak Rencana APBD Sumatera Utara


Jumat, 1 Februari 2008 | 08:52 WIB

Medan, Kompas - Masyarakat Pendidikan Sumatera Utara menolak Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumut 2008 karena nilainya terlalu rendah. Anggaran itu jauh dari kebutuhan sebenarnya dan melecehkan amanat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran.

”Kami menolak anggaran pendidikan ini. Ini jelas jauh lebih kecil dari amanat undang-undang. Kami meminta agar ada revisi alokasi anggaran itu,” tutur Koordinator Masyarakat Pendidikan Sumut (MPS) Deni B Saragih, Kamis (31/1), di sela-sela diskusi mengupas anggaran pendidikan APBD Sumut.

Menurut Deni, banyak persoalan pendidikan yang memerlukan perhatian, seperti rehabilitasi sekolah rusak dan perbaikan kesejahteraan guru. Sikap penolakan mula-mula didesakkan oleh pendiri Yayasan Sultan Iskandar Muda, Sofyan Tan. Sofyan menilai, selain kecil, alokasi dana pendidikan banyak yang salah sasaran. Salah satu bentuk kesalahan itu adalah pemberian bantuan ke sekolah.

”Banyak sekolah di pinggiran kota yang belum banyak menikmati bantuan. Bantuan selama ini banyak diterima sekolah yang sudah maju. Bagaimana sekolah yang berbeda sarana pendidikannya melakukan ujian nasional dengan soal yang sama,” kata Sofyan yang juga anggota dewan pendidikan Sumut.

Penolakan serupa didukung oleh anggota DPD asal Sumut, Parlindungan Purba. ”Saya setuju asal penolakan ini lepas dari unsur politik apa pun. Memang anggaran tahun ini banyak tersedot oleh agenda politik. Padahal, anggaran itu mestinya bisa dipakai untuk memperbaiki sekolah rusak, misalnya,” katanya.

Penolakan terhadap APBD diatur dalam mekanisme penyusunan anggaran, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut Elfanda Nanda mengatakan, sebelum disahkan, masyarakat bisa melakukan protes jika komposisi anggaran dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

Dia menuturkan, komposisi anggaran pendidikan di APBD Sumut tahun 2008 lebih buruk dari 2007. Tahun ini anggaran bidang pendidikan senilai 3,2 persen dari total anggaran yang ada Rp 3,1 triliun yang setara dengan Rp 102 miliar. Alokasi anggaran ini Rp 25 miliar untuk belanja tidak langsung dan Rp 76 miliar untuk belanja langsung atau belanja publik.

Adapun anggaran Dinas Pendidikan 2007 Rp 91 miliar yang terdiri atas Rp 20 miliar untuk belanja tidak langsung dan Rp 70,9 miliar belanja langsung untuk 10 program. Namun, hanya enam program yang bersentuhan dengan kepentingan masyarakat.

Anggota Panitia Anggaran DPRD Sumut, M Nuh, memahami penolakan masyarakat atas alokasi dana pendidikan. ”Besarnya anggaran pendidikan tergantung dari kemauan politik saja,” katanya. (NDY)

Kamis, 27 September 2007

Laporan Perjalanan Staf KAMG

Aktivitas Staff KAMG

Senin, 10 September 2007
Pergi ke kantor DPRD SU untuk menemui Komisi E-DPRD SU, menanyakan tentang janji Komisi E untuk memfasilitasi pertemuan Tripartit antara KAMG-DPRD SU (Komisi E) dan Pihak Yayasan/Sekolah yang memecat dan mengurangi jam mengajar guru-guru anggota KAMG. Setelah diskusi dengan Pak Timbas (Koordinator Komisi E-DPRD SU), beliau mengatakan bahwa pengaduan KAMG tersebut belum pernah dibicarakan di lingkungan Komisi E dengan alasan anggota Komisi E sedang sibuk, dan beliau tidak berani mengambil langkah sendiri. Beliau hanya bisa menjanjikan bahwa nanti sore (senin, 10 Sept) sekitar jam 2, komisi E akan mengadakan rapat dan kasus KAMG ini akan menjadi salah satu agenda rapat Komisi E.

Selasa, 11 September 2007
Menemui Pak Timbas kembali untuk menanyakan bagaimana hasil rapat yang beliau janjikan. Tapi sangat disayangkan, beliau mengatakan bahwa mereka (komisi E) tidak jadi rapat dengan alasan anggota Komisi E pada tidak datang. Setelah diskusi lagi dengan beliau, beliau menyarankan supaya KAMG juga turun ke tingkatan Daerah/kota yaitu untuk mendesak dinas Daerah/Kota supaya mamfasilitasi KAMG bisa menyelesaikan kasus tersebut dengan jalan damai bersama pihak Yayasan/Sekolah dilingkungan daerah/kota tersebut, sembari juga nanti Komisi E akan tetap mengusahakan supaya tuntutan KAMG (yaitu difasilitas bertemu dengan pihak yayasan/kota) di tingkatan Propinsi tetap dilakukan.
Selain itu beliau juga menyerahkan foto copy tembusan surat edaran (tertanggal 22 Agustus 2007) dari Kadis Pendidikan Propsu ke Kadis pendidikan Daerah/kota yaitu Medan, Langkat, Deli Serdang dan Tebing Tinggi. Surat dari Kadis Propsu tersebut berisi supaya masing-masing Kadis di 4 (empat) daerah/kota tersebut menyelesaikan permasalahan KAMG dengan pendekatan personal dan bersifat persuasif edukatif kepada para kepala sekolah, pimpinan yayasan dan para guru yang bersangkutan untuk menjaga kelancaran proses pembelajaran di sekolah.

Rabu, 12 September 2007
Kami pergi ke kantor Dinas Pendidikan Propsu, untuk menanyakan hasil tindak lanjut dan respon Dinas Pendidikan Daerah/Kota atas surat edaran yang dikeluarkan oleh Kadis Propsu tersebut.
Satpam kantor dinas Propsu yang dilantai satu mengatakan bahwa Kepala Dinas lagi ada urusan luar dan kami disarankan untuk bertemu staff ahlinya saja. Kemudian ketika jumpa dengan Satpam di lantai dua, kami diarahkan untuk bertemu Kepala Tata Usaha saja.
Ketika masuk ke ruangan Tata Usaha, kami dilayani oleh salah seorang pegawai di ruangan tersebut, kemudian kami mengutarakan maksud kedatangan kami dan kamipun menyerahkan foto copy surat edaran dari Kadis tersebut, tetapi beliau mengatakan bahwa KTU lagi ada rapat. dan kami disuruh untuk menunggu. Setelah selesai rapat di ruangan rapat Tata usaha, KTU keluar, tetapi beliau belum bersedia menemuii kami dengan alasan ada rapat lain. Sehingga kamipun pulang tanpa hasil.

Jumat, 14 September 2007
Kembali kami mendatangi kantor tata usaha dinas propsu, dan menjumpai pegawai yang kemarin melayani kami, beliaupun menjumpai KTU dan mengutarakan maksud kedatangan kami. Kemudian beliau mengatakan bahwa KTU belum bersedia untuk ditemui dan KTU melalui beliau hanya menyerahkan hasil dengar pendapat antara Mendiknas dengan Komisi X DPR-RI dan kami disuruh memfoto copy. Kami menjelaskan bahwa itu sudah kami miliki, yang kami minta adalah hasil tindak lanjut surat edaran kadis Propsu. Tetapi pegawai tersebut mengatakan mereka tidak tahu menahu tentang surat tersebut dan kami disuruh untuk menanyakan langsung ke Kadis.
Kemudian kami pergi ke kantor Kadis, tetapi kadis tidak ada di tempat dan akhirnya kami dilayani oleh Staff Ahlinya Kadis. Setelah mengutarakan maksud kedatangan kami, beliau menjawab bahwa surat tersebut belum ada hasil. Beliau mengatakan bahwa karena alasan Otonomi Daerah, Kepala Dinas Propsu tidak mempunyai wewenang yang kuat untuk menekan dinas daerah/kota. Beliau menambahkan bahwa Kadis Propsu melalui surat tersebut hanya bisa menyarankan kadis daerah/kota untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dan daerah/kota bisa sesuka hati mau membalas atau tidak surat edaran tersebut.
Kemudian kami menjelaskan bahwa di point 2b surat tersebut dituliskan bahwa setiap langkah dan strategi yang diambil dinas daerah/kota harus dilaporkan ke Dinas Propsu. Tetapi lagi-lagi beliau mengalaskan Otonomi daerah. Beliau mengatakan dengan adanya Otonomi Daerah, tidak ada kewajiban mutlak daerah/kota untuk membalas atau mengindahkan surat edaran Kadis Propsu tersebut.

Senin, 17 September 2007
Kami kembali menjumpai Pak Timbas untuk mendiskusikan hasil yang kami dapat di kantor Dinas Propsu, sekaligus juga menekankan tuntutan KAMG yang pertama kali yaitu supaya difasilitasi bertemu dengan pihak yayasan/sekolah. Kemudian bapak itu kembali menyarankan supaya kami tetap turun langsung ke dinas daerah/kota sekaligus juga menanyakan tentang surat edaran kadis Propsu itu langsung di daerah. Sewaktu kami nanti turun ke dinas daerah, beliau berjanji akan mengontak anggota DPRD (lewat Fraksi PKS )di daerah yang akan kami kunjungi supaya memfasilitasi kami bertemu dengan kepala Dinas daerah/kota. Dan bapak itu juga menjanjikan tentang tuntutan KAMG ke DPRD SU akan dibicarakan pada rapat Komisi E nanti sore Jam 2.

Selasa. 18 September 2007
Kami menghubungi kembali Pak Timbas, untuk menanyakan hasil rapat Komisi E. Beliau mengatakan bahwa hasil rapat komisi E adalah mereka menyurati Kadis Propsu untuk mempertanyakan hasil tindak lanjut surat edaran Kadis Propsu. Kemudian beliau menjanjinkan kalau surat komisi E tersebut tidak ditanggapi oleh Kadis propsu, maka Komisi E akan memanggil langsung Kadis Propsu. Kemudian kalau kedua cara tersebut tidak membuahkan hasil, maka Komisi E menjanjinkan akan memfasilitasi KAMG untuk bertemu pihak Yayasan/Sekolah.

Rabu, 19 September 2007
Kami pergi ke DPRD Deli Serdang (Fraksi PKS) meminta supaya di fasilitasi bertemu dengan Dinas Pendidikan DS. Tetapi karena ada sedikit Misscomunication antara Pak Timbas dengan dengan Fraksi PKS DS maka kami tidak jadi bisa bertemu dengan Kadis DS.

Senin, 24 September 2007
Kami pergi lagi ke Fraksi PKS DS. Disana kami bertemu dengan Uztad Latief (Ketua Fraksi PKS) dan meminta beliau untuk memfasilitasi kami bertemu dengan Kadis DS. Setelah diskusi sebentar, kemudian beliau membawa kami langsung menuju kantor Dinas Pendidikan DS. Disana kami tidak bertemu dengan Kadis karena sedang ada dinas luar. Maka kami dilayani oleh KTU (Pak Surya). Sesudah mengutarakan maksud kedatangan kami, beliau mengatakan bahwa masalah KAMG ini sudah diusut dan untuk ini sudah dibentuk Tim Khusus yang diketuai oleh pak Zul Syahrizal.
Menurut penuturan Beliau, hasil pengusutan itu dijelaskan bahwa para guru dipecat dan dikurangi jam mengajarnya salah satu alasannya menurut sekolah adalah karena berkurangnya jumlah siswa sehingga sekolahpun harus mengurangi jam mengajar guru. Kemudian kami mengatakan bahwa kekecewaan KAMG selama ini bahwa Dinas Pendidikan hanya mendengarkan apa kata Yayasan/sekolah dan tidak pernah menanyakan KAMG (dalam hal ini guru-guru yang dipecat atau yang dikurangi jam mengajarnya).
Kemudian beliau menyarankan supaya kami membuat surat permohonan resmi dari KAMG berisi harapan KAMG ke Dinas DS dan beliau juga menyarankan kami bertemu langsung dengan ketua tim untuk menanyakan kejelasan hasil investigasi mereka. Beliau juga berjanji akan menyuruh Pak Zul untuk menghubungi kami.

Selasa, 25 September 2007
Bertemu dengan Indira (Bagian Diakonia bidang anak PGI Pusat).

Rabu, 26 September 2007
Sampai hari ini kami tidak pernah dihubungi oleh Pak Zul. Akhirnya kami yang menghubungi Pak Zul lewat nomor HP yang diberikan oleh Pak Surya, tetapi nomor yang diberikan itu tidak aktif-aktif. Setelah sampai di kantor dinas kami telepon kembali beliau tetapi tetap tidak aktif.
Kemudian kami bermaksud menjumpai Pak Surya karena Pak Zul tidak bisa dihubungi. Tetapi menurut pegawai Tata Usaha, Pak Surya sedang ada tamu dan tidak bisa diganggu. Kemudian kami SMS Pak Zul dengan maksud meminta Beliau untuk berkenan menemui kami dan setelah menunggu beberapa lama SMS tersebutpun masuk tetapi tidak ada tanggapan.
Setelah kira-kira jam 11.30 Wib, Pak Surya keluar dan kami menanyakan bagaimana tindak lanjut dari pembicaraan kami tempo hari, tetapi beliau tidak memberi tanggapan apa-apa (mungkin karena kami datang tidak bersama anggota DPRD lagi), dan beliau hanya mengarahkan kami untuk bertemu dengan Pak Zul secara langsung. Kemudian beliau menunjukkan kantornya Pak Zul.
Kemudian kami masuk ke kantor Dikmenjur (Pak Zul sebagai Koordinator), dan disana kami bertemu pegawai Dikmenjur (Mattohir Siregar), dan kami menyatakan bahwa kami ingin bertemu dengan Pak Zul. Tetapi beliau mengatakan bahwa Pak Zul sedang istirahat (tidur) dan tidak bisa diganggu padahal masih pukul 11.30 WIB.
Kami tanyakan kembali berapa lama beliau istirahat, tetapi pegawai tersebut mengatakan tunggu sajalah dulu. Setelah jam 12.00 WIB, kami menanyakan kembali jam berapa biasanya beliau selesai istirahat, tetapi pegawai yang lain (cewek) mengatakan “kan ada waktunya istirahat dan ada waktunya menerima tamu, jadi tunggu sajalah dulu”. Dan mereka mengatakan istirahat biasanya sampai jam 13.00 WIB. Kemudian kami pergi, dan mengatakan bahwa kami akan datang lagi jam 13.00 WIB.
Pukul 13.00 WIB kami datang lagi dan menemui pegawai tersebut, tetapi mereka mengatakan bahwa Pak Zul sudah keluar dan tidak tahu apakah masih kembali atau tidak. “Baru saja kalian pergi, Pak Zul sudah keluar, makanya tadi ditunggu saja” kata pegawai cewek tadi. Padahal mereka yang bilang tadi, bahwa jam istirahat biasanya sampai pukul 13.00 WIB.