Senin, 18 Mei 2009

Cukup Sudah UN by Abduhzen (Ketua Ed Forum)

Dalam praktiknya, UN telah memosisikan para guru dan kepala sekolah pada ruang
dilematis. Pada satu sisi, sebagai jajaran paling ujung dari rantai panjang
birokrasi pendidikan, mereka sering dipaksa mencapai target kelulusan tertentu
dengan standar yang ditetapkan. Di sisi lain, mereka menghadapi kenyataan
tingkat kemampuan murid-muridnya yang masih rendah. Situasi ini kemudian
menggiring mereka melakukan tindakan "penyelamatan" yang kadang kala melawan
akal sehat dan menentang hati nurani.

Ada dua berita menarik menyertai penyelenggaraan UN tahun ini. Pertama,
penangkapan enam kepala SMA dan seorang Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas
Pendidikan Bengkulu Selatan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka karena
tertangkap tangan ketika bersama menjawab soal cadangan UN untuk disebarkan ke
peserta UN, murid-murid mereka. Kedua, ancaman Wali Kota Bekasi untuk
memberhentikan kepala sekolah jika di sekolahnya ada murid yang tak lulus UN.

Selama enam tahun penyelenggaraan UN, rasanya tak pernah sepi dari peristiwa
kebocoran atau upaya-upaya membocorkan soal. Ironisnya, praktik curang tersebut
kebanyakan melibatkan oknum guru. Mengapa guru kita merelakan dirinya melakukan
praktik tak terpuji itu? Sudah begitu burukkah mentalitas dan moralitas para
guru kita?

UN direspons oleh berbagai kalangan terkait tidaklah secara positif sebagai
tantangan, melainkan dirasakan sebagai ancaman yang menakutkan. Pemerintah
daerah dan Dinas Pendidikannya, kepala sekolah dan guru, orang tua dan anaknya
(para murid) dihantui kegagalan dan kesia-siaan atas jerih payah mereka selama
bertahun-tahun. Kekhawatiran timbul karena UN mengandalkan hanya pada single
score dan tidak menyediakan ujian ulangan sehingga peluang kegagalan ternganga
bagi siapa saja, bahkan bagi para murid paling pandai pun. Ketegangan dan rasa
takut menjadi sempurna ketika belakangan Depdiknas mendramatisasi kegiatan
akademik ini dengan melibatkan aparat keamanan secara vulgar.

Sementara itu, jajaran birokrasi penanggung jawab pendidikan menginginkan UN
selalu tampak sukses di mata atasan dan masyarakatnya. Para guru beserta kepala
sekolah suka atau tidak suka diposisikan menjadi ujung tombak operasi kesuksesan
tersebut. Padahal, sebagai orang yang setiap hari bergelut dengan realitas,
mereka sangat tahu kesiapan sekolah dan kemampuan para muridnya. Pada posisi
dilematis seperti inilah sebagian besar guru dan kepala sekolah terpaksa
melalukan "penyelamatan" melalui beragam modus operandi yang dinilai berbagai
kalangan sebagai tak terpuji. Disebut "penyelamatan" karena sejatinya kegiatan
tersebut semata untuk membantu murid-muridnya, menyelamatkan sekolah, dan
menyelamatkan karier. Dan itu merupakan "keniscayaan manusiawi" akibat kebijakan
nasional yang keliru.

Sangatlah tidak bijaksana ketika menyalahkan para guru dan kepala sekolah. Kita
juga mengutuki faktor penyebab kecurangan mereka. Kita perlu mengingat kembali
bahwa pemerintah, Mendiknas, dan jajarannya sudah dua kali diputus bersalah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena
kebijakan UN melanggar hak asasi manusia warga negaranya. Ini hendaknya kita
refleksikan bersama bahwa secara hukum pemerintah telah melakukan dua kesalahan,
membuat kebijakan yang melanggar, dan kebijakan itu menyebabkan orang (guru dan
kepala sekolah) melanggar hukum. Oleh karena itu, ketika akan menjatuhkan
hukuman terhadap guru yang dianggap melanggar dalam kasus UN, perlu pula
dipertimbangkan sanksi terhadap pihak yang menjadi penyebabnya serta kebijakan
UN itu sendiri.

UN bukanlah persoalan hukum semata. Ia adalah bagian dari proses pendidikan yang
oleh para pakar sejak awal dianggap melanggar prinsip-prinsip pedagogis dan
mendangkalkan makna pendidikan. Kini, setelah enam tahun diselenggarakan, budaya
belajar keras dan kualitas pembelajaran belum menunjukkan tanda-tanda akan
meningkat. Demikian pula pemetaan mutu yang juga sering dijadikan alasan UN,
tidak jelas apakah ada dan menjadi dasar kebijakan untuk perbaikan. Yang semakin
nyata justru adalah dampak buruknya.

Jika UN terus dilangsungkan seperti sekarang, ada dua dampak buruk yang akan
muncul dalam dunia persekolahan kita, yaitu meningkatnya budaya malas belajar
dan tertanamnya mentalitas korup.

Menumbuhkan tradisi belajar pada murid merupakan inti dan hakikat pendidikan.
Dengan memfokuskan segenap aktivitas pembelajaran untuk menghadapi ujian,
kegiatan UN telah memberangus kesempatan tumbuhnya rasa cinta belajar dan
mekarnya fungsi nalar. Semangat belajar itu semakin melemah ketika para murid
menyaksikan dan terlibat konspirasi yang mengajarkan bahwa banyak "jalan tikus"
menuju lulus.

Konspirasi guru dan murid di sekolah adalah "praktikum diam" yang menanamkan
karakter buruk kepada anak-anak. Pandangan luhur terhadap martabat guru dan
lembaga persekolahan secara nyata dinegasikan sembari mengafirmasi nilai-nilai
korup yang merebak di tengah masyarakat. Praktik UN telah menjadi seperti hidden
curriculum pendidikan mental korup (corrupted mind).

Oleh karena itu, dengan UN lembaga persekolahan selain tidak mencerdaskan, juga
mengakselerasi kehancuran mentalitas bangsa ini. Cukup sudah UN!

3 komentar:

fujiomi mengatakan...

Saya setuju UN banyak dampak buruknya. Lalu solusi untuk pemetaaan pendidikannya bagaimana?

Amar mengatakan...

Setuju pak, mohon mempromosikan group facebook "GERAKAN ANTI UNAS SEBAGAI STANDAR KELULUSAN". Kalau banyak yang dukung moga2 pemerintah mau dengar. Thanks..

Unknown mengatakan...

Prinsip ABS (Asal Bapa Senang), mungkin itulah yang pas untuk kondisi sekarang.., ga mau tahu apa yang sebenarnya terjadi di bawah........,