Sabtu, 29 Maret 2008

Pemberantasan Korupsi

Menggempur Korupsi dari Pelbagai Sisi
Oleh Victor Silaen

Batin kita mungkin sudah teramat lelah mengamati sepak-terjang para
koruptor dan dahsyatnya praktik korupsi yang menyebabkan Indonesia hingga kini
masih dikategorikan sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Padahal,
upaya-upaya memerangi korupsi selama ini telah gencar dilakukan oleh
institusi-institusi penegak hukum negara, yang didukung pula oleh pelbagai
lembaga keumatan dan organisasi non-pemerintah yang peduli terhadap ”penyakit
akut” yang terus-menerus menggerogoti sendi-sendi negara ini. Pertanyaannya,
adakah alternatif lain yang harus kita lakukan? Harus disadari bahwa korupsi
tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga
upaya-upaya memeranginya harus luar biasa pula.
Terkait itu Prof Dr. JE Sahetapy, pakar hukum pidana dari Universitas
Airlangga, Surabaya, mengusulkan perlunya dibuat ketentuan hukum tentang
”pembuktian terbalik” dalam rangka memerangi korupsi (Suara Pembaruan,
17-3-2007). Bukan gagasan yang baru sebenarnya, tapi kita patut mendukungnya
agar gemanya terdengar lebih luas lagi. Sehingga, mudah-mudahan dalam waktu yang
tidak terlalu lama, gagasan ini berkembang menjadi isu politik hingga akhirnya
diagendakan untuk dibahas di DPR. Kalaupun belum berbentuk undang-undang,
menurut Sahetapy, setidaknya Mahkamah Agung dapat segera melakukan asas
pembuktian terbalik ini. ”MA memberlakukan asas ini, tentu melalui
yurisprudensi,” kata dia.
Memang, korupsi yang sudah menjadi wabah akut di negara kleptokrasi --
negara yang dalam praktik penyelenggaraan pemerintahannya ditandai oleh
keserakahan, ketamakan, dan korupsi yang merajalela (Amich Alhumami, 2005) – ini
harus digempur dari pelbagai sisi. Artinya, agar lebih efektif, kita tak bisa
hanya menggantungkan harapan pada lembaga-lembaga penegak hukum yang selama ini
sudah berperan. Untuk itulah perangkat hukum pun harus dilengkapi. ”Saya pikir
dengan kondisi Indonesia yang sudah hancur karena korupsi, maka asas ini sangat
relevan diberlakukan,” kata Sahetapy.
Ia benar. Sebab, bukankah kita kerap terheran-heran menyaksikan begitu
banyaknya aparat pemerintah maupun pejabat negara yang memiliki kekayaan tak
ubahnya pengusaha papan atas? Berapakah gaji mereka per bulan, sehingga harta
mereka begitu berlimpah? Menurut Sahetapy, jika kelak asas pembuktian terbalik
ini diberlakukan, maka orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi
diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Untuk itu tentu
harus dengan bukti hukum yang kuat. ”Saya bersama anggota Komisi Hukum Nasional
sudah bertemu Presiden agar asas pembuktian terbalik ini segera dimasukkan ke
dalam KUHAP,” ujarnya.
Kalau begitu, sekarang kita tinggal menunggu good will dan political will
dari Presiden Yudhoyono. Kita boleh optimistik dalam hal ini, sebab bukankah
sejak awal Yudhoyono telah bertekad kuat untuk memerangi korupsi? Bukankah ia
pernah berjanji di masa kampanyenya sebagai calon presiden dulu, untuk bekerja
siang-malam dan memimpin langsung di garda depan dalam rangka memberantas
korupsi?
Sebagai kepala negara, tak ada salahnya Yudhoyono mengacu pada
pengalaman memerangi korupsi di negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, dan Hongkong (Cina), yang telah melaksanakan undang-undang khusus
yang mengatur asas pembuktian terbalik itu. Di ketiga negara ini, umumnya orang
takut melakukan korupsi karena sulit sekali menghindarkan diri dari penyidikan
jika benar-benar melakukan korupsi seperti menerima atau memberi suap. Karena si
tersangkalah – bukan pihak kejaksaan -- yang harus membuktikan bahwa dirinya
tidak melakukan tindakan korupsi sebagaimana yang disangkakan kepadanya.
Selain itu, ada beberapa alternatif lainnya. Pertama, mengampanyekan
pernyataan-pernyataan bersubstansi antikorupsi seluas-luasnya (sebagaimana hal
itu telah kita lakukan dalam rangka memerangi narkoba), misalnya dengan memasang
plakat-plakat, spanduk-spanduk, stiker-stiker, dan yang sejenisnya, di
ruang-ruang publik di pelbagai pelosok negeri ini, termasuk di kantor-kantor
pemerintah, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Kedua, menciptakan efek gentar (detterent effect) di masyarakat dengan
cara menayangkan wajah para tersangka koruptor di sejumlah stasiun televisi
pemerintah maupun swasta secara berulang-ulang. Dengan cara itu dimungkinkan
tercapainya dua tujuan: 1) masyarakat dapat berpartisipasi memberikan
informasi-informasi yang terkait dengan para tersangka koruptor itu; 2)
orang-orang yang berniat korupsi niscaya berpikir seribu kali sebelum melakukan
kejahatan itu.
Ketiga, mengimbau masyarakat untuk tidak menaruh respek kepada para
koruptor. Itulah resep yang disampaikan Pascal Couchepin, Konsuler Federal
sekaligus Menteri Dalam Negeri Swiss (Kompas, 29-10-2005). Di negara yang
dikategorikan Transparency International sebagai “bersih dari korupsi” itu,
begitu ada yang korup langsung dimusuhi. Kalau dia pegawai negeri, maka akan
dibenci seluruh rakyat. Untuk menjadikan sebuah negara bersih dari korupsi,
menurut Couchepin, membutuhkan waktu. ”Akan tetapi, suatu hal yang utama adalah
jangan pernah berkompromi menghadapi korupsi dan jadikan korupsi sebagai musuh
bersama,” ujarnya. ”Di Rusia tindakan korupsi kini banyak berkurang, karena para
koruptor langsung dikirim ke Siberia,” katanya lagi.
Senada dengan itu, Mallam Nuhu Ribadu, Ketua Eksekutif Economic and
Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria berkata: “Kita punya masalah sama:
kita cenderung memberi hormat kepada orang-orang yang justru tidak layak
dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya
kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri
karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi
bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap
para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect” (Tempo, 16-9-2007).
Pesan Couchepin dan Ribadu sangatlah jelas. Namun, mudahkah menerapkannya
di Indonesia, itu yang belum jelas. Sebab, bukankah umumnya kita cenderung
menghormati mereka yang kaya-raya, tak hirau kekayaan itu diperoleh dengan
cara-cara yang melawan hukum? Perlu disadari bahwa penghormatan kepada mereka
yang kaya-raya, khususnya yang menjadi hartawan karena korupsi, sebenarnya
semakin mengukuhkan pandangan bahwa korupsi adalah tindakan yang biasa di zaman
edan ini. Atas dasar itulah maka kita pun perlu belajar untuk tidak silau
memandang kekayaan.
Akhirnya, seraya terus berjuang menggempur korupsi dari pelbagai sisi,
ingatlah kalimat bijak Oscar Arias Sanchez, Presiden Costa Rica 1986-1990,
pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1987 dan salah seorang anggota pendiri dan
anggota dewan penasihat Transparency International: “Kita sekali-kali jangan
putus-asa dalam upaya menghambat kanker korupsi. Memang, korupsi telah mendunia,
tetapi gelombang pasang tuntutan masyarakat agar diwujudkannya pemerintahan yang
bersih juga telah mendunia.”

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.

1 komentar:

My Ultraviolet mengatakan...

halo mas Denni

Saya Rendy dari radio Trax FM jakarta.

saya ingin sekali menghubungi mas denni via telp untuk menunjang program radio feature mengenai kredibilitas pendidikan di indonesia dan kebocoran UN yang sedang saya produksi saat ini..

untuk itu apakah saya bisa meminta nomor kontak dari mas denni?

mas denni bisa mengubungi saya di Rendy@traxonsky.com

atau di nomor 08151606159

atas perhatiannya saya mengucapkan terimakasih

Rendy