Kamis, 23 Agustus 2007

Pandangan Tentang UN 2008

Dilema UN, Adakah Solusinya?

Denni B. Saragih

Pembina, KAMG

Kebijakan Ujian Nasional (UN) menempatkan banyak sekolah pada posisi dilematis. Lulus UN menjadi syarat mutlak bagi siswa SMP dan SMA untuk lulus sekolah. Melakukan ujian secara objektif dan jujur berarti menerima konsekuensi tingkat ketidaklulusan yang tinggi. Tekanan dari siswa, orang tua siswa, reputasi sekolah, bahkan reputasi daerah begitu berat untuk ditanggung. Namun melakukan kecurangan UN berarti mengorbankan integritas dan hati nurani sebagai seorang pendidik. Yang lebih berat adalah banyak siswa yang mengalami demotivasi belajar karena sudah mendengar kabar bahwa jawaban akan beredar pada saat ujian berlangsung. Beberapa sekolah justru terkesan santai menjelang UN 2007 yang lalu, hal ini hanya dapat dijelaskan bila siswanya telah memiliki keyakinan yang tinggi bahwa mereka pasti lulus. Situasi ini adalah jelas kontraproduktif dengan maksud diadakannya UN, yaitu mendongkrak semangat belajar siswa.

Dilema kembali muncul paska dibongkarnya kecurangan UN oleh beberapa kelompok masyarakat, salah satunya oleh Komunitas Air Mata Guru (KAMG). Tim inspektorat menyebut di media massa, bahwa kecurangan seperti yang dilaporkan KAMG belum terbukti. Jadi bukan tidak terbukti. Bukannya memberikan keterangan yang jelas mengenai kecurangan yang sebenarnya terjadi, pemerintah justru merekomendasikan pembebastugasan Kadinas Kota Medan.

Dilemanya, disatu sisi terjadinya kecurangan UN sulit untuk disangkal, seolah telah menjadi rahasia umum. Disisi lain mengakui adanya kecurangan dalam skala besar harus dibayar dengan ongkos yang besar. Misalnya, seperti dikatakan Irjen M. Sofyan, bahwa siswanya dinyatakan tidak lulus, guru diberikan sanksi, demikian juga sekolah-sekolah yang terbukti curang. Berapa jumlah sekolah, guru dan siswa yang akan mendapatkan penalti? Dalam acara Republik Mimpi, Imam Prasojo, bertanya, “mengapa guru dan sekolah ramai-ramai melakukan ini?” Suatu pertanyaan yang sebenarnya perlu direnungkan pejabat diknas sebelum terburu-buru memberikan hukuman. Pemerintah perlu menghadapi persoalan yang sebenarnya. Banyak sekolah tidak siap menghadapi UN. Kualitas pendidikan Indonesia belum mencapai potret pemetaan UN, dimana 96% sekolah dinyatakan berhasil lulus, dengan rerata nasiona >7. Tanpa mengakui persoalan yang ada, tidak mungkin perbaikan dapat dilakukan.

UN dan Realita Pendidikan

Sebagai sebuah kebijakan, UN memang cacat sejak lahirnya. UU Sisdiknas jelas sekali mendelegasikan masalah kelulusan siswa kepada sekolah dan guru. Bahkan dalam UU Guru dan Dosen, hal ini dipertegas kembali. Sementara kebijakan UN membuat penilaian guru dan sekolah menjadi komponen yang kurang berarti. UN menjadi penentu mutlak kelulusan, guru dan sekolah hanyalah menjadi penentu bersyarat. Guru dan sekolah hanya berfungsi kalau siswa telah lulus UN. Artinya siswa yang tidak lulus UN, mutlak tidak lulus. Siswa yang lulus UN, sekolah memang berhak tidak meluluskannya. Suatu hak yang sangat ringkih, bisa dikatakan tidak berarti dalam konteks Indonesia. Wajar bila hampir seluruh sekolah emoh menggunakannya.

Sebagai sebuah kebijakan pendidikan, UN dengan sistem skor tunggal untuk kelulusan mendorong metode belajar yang berorientasi pemecahan soal. Logika pengetahuan digantikan dengan cara singkat dan cepat. Metode belajar didorong menjadi metode karbitan, tidak menghasilkan pengetahuan yang permanen. Apa yang diuji dalam UN tidak menggambarkan proses belajar selama tiga tahun yang telah dialami siswa. Hal itu hanya menggambarkan apa yang mereka pelajari dalam beberapa bulan kursus belajar menjelang UN dilaksanakan.

Disamping itu pusat proses belajar mulai berpindah dari berpusatkan sekolah, menjadi berpusatkan Bimbingan Belajar. UN tidak serta merta menggairahkan iklim belajar di sekolah. Justru yang lebih berkembang adalah bisnis Bimbingan Belajar di luar sekolah. Peran guru semakin disunat. Ditengah persolan besar menghasilkan guru yang profesional, kebijakan UN justru semakin menggaris bawahi rendahnya mutu guru. Sebuah persoalan yang harus dihadapi pemerintah dengan serius dan dengan progarn yang jelas dan terarah.

UN, Kelulusan dan Perbaikan Pendidikan

UN perlu dibebaskan dari posisi dilematis dan menjadikannya sebagai instrumen yang produktif bagi pendidikan Indonesia. Yang paling perlu segera dilakukan adalah melepaskan UN dari beban berat sebagai pengawal gerbang kelulusan. Tugas ini adalah milik guru dan sekolah. Kembalikanlah kepada mereka. Dalam situasi sekarang kecurangan UN perlu diselesaikan secara lebih bijaksana, menyangkut sistem yang merusak, bukan seolah mengkosmetiki pendidikan dan memaksakan kembali UN 2008.

Sebagai sebuah proposal, sebaiknya seluruh peserta UN SMA diluluskan dengan kategori yang berbeda. Misalnya kategori A, B, C dan D. Kategori A dan B, boleh melanjutkan ke Universitas. Kategori C hanya boleh melanjutkan ke program DIII atau yang lebih rendah. Sedangkan kategori D direkomendasikan untuk bekerja sebagai lulusan SMA. Hal yang sama diberlakukan untuk lulusan SMP. Hanya kategori A dan B saja yang boleh melanjutkan ke SMA. Sedangkan kategori C dan D hanya boleh melanjutkan ke sekolah kejuruan. Dengan demikian seluruh peserta UN diluluskan, hanya saja dengan kategori yang berbeda-beda.

Tapi bukankah hal ini bisa menjadi ajang kecurangan yang baru lagi? Sekolah bisa saja berlomba meningkatkan kelulusan kategori A dan B. Memang bisa saja terjadi. Karena itulah perlu dibuat program tindak lanjut UN. Sekolah dengan tingkat kelulusan C dan D yang tinggi diberikan program bantuan yang lebih besar untuk memperbaiki mutu pendidikan mereka. Sarana dan prasarana ditambah, fasilitas ditingkatkan, guru bantuan yang berkualitas juga ditambah. Sementara yang tingkat kelulusan A dan B-nya tinggi, bantuan pendidikannya dikurangi karena memang sudah lebih baik. Di sekolah-sekolah dengan tingkat kelulusan A dan B rendah, pemerintah bisa menyelenggarakan program kelas intensif untuk mendongkrak kualitas pendidikan mereka. Dengan adanya program bantuan yang lebih besar bagi sekolah yang kurang berprestasi, maka bisa diharapkan sekolah akan mencoba lebih objektif dalam menyelenggarakan UN.

Kelihatannya program UN tetap akan dilakukan. Sangat baik bila pemerintah bersikap bijaksana dan berlapang dada. Sebelum UN 2008 dilakukan, persoalan pendidikan perlu diantisipasi dengan cara yang tepat dan arif. Tidak menjatuhkan korban yang tidak perlu dan tidak sepenuhnya bersalah. Dan tidak membiarkan sekolah, guru dan siswa berada dalam ketidakpastian yang berlarut-larut.

8 komentar:

Mashuri Mualip mengatakan...

Mashuri
hurimas@gmail.com
Aku setuju dengan pak Deni bila kewenangan menguji siswa dikembalikan pada guru (sekolah). Bagaimanapun guru yang mendidik siswa setiap hari, guru sangat paham siswa mana yang layak lulus dan mana yang seharusnya tidak lulus. Menurut saya UN dapat terus diadakan tetapi tidak bersifat menghakimi siswa dalam kelulusannya, hanya sebagai upaya pemetaan mutu sekolah. Kalau mutu sekolah rendah dan sekolah meluluskan semua muridnya, masyarakat akan menolak sekolah tersebut. Yang patut direnungkan adalah "sekolah yang baik mutunya adalah yang mampu melaksanakan ujian secara ketat". Mengapa para siswa lebih memilih perguruan tinggi seperti UI, UGM, UNAIR, atau ITS walaupun lulusnya lebih sulit dibanding perguruan tinggi yang lain.

Mashuri Mualip mengatakan...

Mashuri
hurimas@gmail.com
Aku setuju dengan pak Deni bila kewenangan menguji siswa dikembalikan pada guru (sekolah). Bagaimanapun guru yang mendidik siswa setiap hari, guru sangat paham siswa mana yang layak lulus dan mana yang seharusnya tidak lulus. Menurut saya UN dapat terus diadakan tetapi tidak bersifat menghakimi siswa dalam kelulusannya, hanya sebagai upaya pemetaan mutu sekolah. Kalau mutu sekolah rendah dan sekolah meluluskan semua muridnya, masyarakat akan menolak sekolah tersebut. Yang patut direnungkan adalah "sekolah yang baik mutunya adalah yang mampu melaksanakan ujian secara ketat". Mengapa para siswa lebih memilih perguruan tinggi seperti UI, UGM, UNAIR, atau ITS walaupun lulusnya lebih sulit dibanding perguruan tinggi yang lain.

Nurdin Abu Qowwiim mengatakan...

Salaam.... KAMG
Saat tahun 2007 kemarin saya sebagai KS SMP, seperti tidak ada sesuatu yang muncul, tapi ternyata di balik itu... banyak hal sebagaimana Anda ungkap.
Sekarnag saya tidak menjadi KS, tapi akan mengawal anak-anak kami untuk mendidik diri "jujur adalah nilai terindah dan terpenting dalam hidup ini", sebagai bukti keimanan akan kehidupan setelah di dunia ini, dan ada yang lebih berkuasa...
Ini ada SKL tuk SMP di "langkah-nurdin.blogspot.com"

anam mengatakan...

Memang begitulah realitanya, BSNP bagaikan Manusia purba yang menganggap gerhana bulan terjadi karena bulan dimakan betorokolo, karena pada waktu itu belum ada teleskop.Hal itu terjadi lagi di UN 2007,BSNP mengklaim dirinya berhasil dalam mengangkat martabat pendidikan di Indonesia karena BSNP tidak tahu apa yang terjadi di lapangan. Tim independen juga manusia, kalau dikasih kunci AVANZA oleh gubernur, bisa nggak nolak??
Kambing didaftar UN aja bisa lulus kok.

black GuaRdian mengatakan...

menurut gue un tuh di hapus aje gak ada gunanye bos tuh buat pejabat-pejabat buncit aje

Jevon 'n kei mommy mengatakan...

Iya nih menteri pendidikan nya itu bego apa goblok sih, kesian gw liat adek gw abis pulang UN kmaren stress sendiri mikirin lulus apa gak lulus. Padahal apa si artinya kalo anak2 SMA skrg ini pada bisa ngerjain soalnya??emang pemerintah jamin mreka bakalan bisa masuk Univ Negri??Emang pemerintah ngejamin anak2 ini pada dapet kerjaan yang bagus dan punya masa depan cerah???gak kan??

Tuh UN tu cocoknya buat pejabat-pejabat dan anggota2 dewan yg korup, yg ga bisa itung2 matematis anggaran2 yg seharusnya dipakai untuk kepentingan rakyat. Secara smua anggaran di mark up supaya bisa masuk ke kantong pribadi..well, mudah2an Tuhan yang bales deh.

Asal lo tau gw dulu ga pinter2 amat ko waktu SMA, kuliah aja cuma di Swasta di daerah. Tapi u know what skrg gw dah bisa dapetin gaji segede pejabat2 dewan itu tanpa perlu korup sono sini…Udah buat adek2 SMA yg lagi pada UN ga usah terlalu dipikirin, selama kalian udah berusaha maksimal sisanya serahkan aja sama TYME, dan yakin selalu kalo kalian itu yg terbaik ok. Good luck untuk smuanya.

Regards,
Shyguy

Mashuri Mualip mengatakan...

Selamat pagi untuk teman2 di KAMG.
Saya sangat prihatin terhadap guru-guru di Deli Serdang yang menjadi tersangka pembocoran soal UN 2008. Sebenarnya mereka adalah korban sistem dan kondisi pendidikan kita yang tidak sehat. Kata-kata Mendiknas menurut saya sangat tidak mendidik dan melukai hati semua guru, sekadar menegaskan siapa yang berkuasa. Apakah tidak ada solusi yang lebih bijak? Dan perlu dicari akar permasalahannya.
Walaupun saat ini sistem pendidikan berpegang pada konsep KTSP namun sebenarnya bersifat sentralistik dan tertutup. Aku bermimpi suatu saat nanti sekolah (para guru) memiliki kewenangan untuk menetapkan apakah seorang siswa layak lulus atau tidak tanpa campur tangan pihak lain. Dan bahkan para siswa yang karena suatu hal tidak dapat mengikuti pembelajaran secara formal tetap dapat mengkuti ujian di sekolah setelah menguasai sejumlah kompetensi yang menjadi persyaratan ujian sekolah. Sekolah betul-betul menjadi lembaga yang otonom. Campur tangan pemerintah terletak pada peningkatan mutu lembaga sekolah termasuk kualitas SDM pendidiknya. Melalui proses akreditasi yang fair sekolah-sekolah yang memenuhi syarat diberikan kewenangan penuh dalam melaksanakan ujian. Sistem ini menurut saya lebih efektif dan efisien. Dana UN yang beritanya milyatan dapat disalurkan langsung ke sekolah-sekolah tidak mampir ke mana-mana. Semoga mimpi tersebut menjadi kenyataan. Amien

ahmadsayuthi mengatakan...

hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki kualitas pendidik.jika kita merasa sebagai pendidik, maka kita harus selalu meingkatkan kualitas kita. bagaimana caranya? tidak perlu dipertanyakan...